Titik Kecil Cahaya Bintang

   
Sudah hampir dua puluh empat jam Risa terkulai tak sadarkan diri. Suasana Idul Fitri hampir tak tersisa lagi kebahagiaannya. Sejak siang hari puasa terakhir, kesadarannya semakin berkurang. Lafal doa dan talkin yang dilantunkan segenap keluarga, mengudara mengambang di langit menuju Arsy. Tak terhitung sanak kerabat yang datang silih berganti. Mungkin ini saat terakhirnya. Ah, siapa pun akan berpikir demikian.

Derai air mata menyiratkan kepasrahan. Malaikat maut tak pernah melepas tanggung jawabnya walau sesaat. Ia selalu tepat waktu bila sudah tiba saatnya. Namun tetap takkan mendahului sebuah takdir kematian seseorang.

“Besok pagi Risa dibawa ke rumah sakit. Bisa pinjam ambulans Puskesmas,” ujar Ali, sambil menenangkan ibu Risa, kakaknya yang penuh kesedihan.   
***   

Bukan hal aneh bagi Risa pulang-pergi ke rumah sakit. Hampir setiap bulan selama delapan tahun, tak terbilang berapa kali ia dirawat. Berapa ribu butir obat yang telah ia konsumsi untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Tapi kali ini yang paling parah di antara setiap kunjungannya ke rumah sakit.

Banyak pemeriksaan yang dijalani Risa. Beberapa kali diambil sampel darah dan urine. Pindai otak CT scan, x-ray dada, pemeriksaan iris mata, dan THT. Hasilnya keluar, Risa divonis Arachnoiditis pada TB grade 2, lumpuh kedua kaki, meningitis, gangguan pada syaraf mata, dan entah apalagi istilah yang tak mudah dipahami masyarakat awam Belum bisa dipastikan berapa lama ia harus menginap di kamar Kenanga itu.   
Selang yang tertancap di hidung tersambung langsung ke lambung. Selang infus terpasang di tangan kanannya. Satu selang lagi menembus saluran kemih. Terpasang detektor jantung menjepit ujung ibu jari tangan dan kaki. Usianya dua puluh dua tahun, tapi hanya dua puluh enam kilogram berat badannya. Penyakit itu hampir menggerogoti seluruh tubuhnya.

Setelah melewati masa kritis selama beberapa hari, kesadarannya kembali dengan perlahan. Matanya terbuka mengerjap menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Tampak Reza di sebelah kanan mengecup punggung tangan. Puji syukur berhamburan karena muncul secercah harapan kehidupan. Segera ditekan bel yang tersambung ke ruang perawat, sesaat kemudian datang beserta dokter menghampiri.   
***   

“Sayang.. makan dulu ya, sebentar lagi minum obat.” Beruntunglah ia mendapatkan suami yang setia. Sebelum menikah, Reza sudah mengetahui kemesraan Risa dengan dokter di berbagai rumah sakit. Namun tidak mengurungkan niatnya untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama. Menikmati berbagai romantisme dalam pelayarannya.

Selang makan di hidung kini dilepas. Sudah cukup kesadarannya untuk bisa makan secara normal. Ia diperbolehkan makan apa saja yang diinginkan. Risa mengabsen makanan kesukaannya, lahap semua dihabiskan walau berceceran. Tentu saja berceceran, setelah sadar dari kritis, matanya juling sebelah. Pandangan matanya hampir tak karuan. Katanya tetap ingin makan sendiri.

“Sayang.. nanti aku bisa sembuh? Untuk bisa duduk saja, aku harus dibantu. Aku ga bisa apaapa sekarang. Kotoran pun harus kamu bersihkan...”   
“Kamu pasti sembuh, Sayang.. kita berjuang bersama untuk kesembuhan kamu.”   
“Dua puluh empat bulan pengobatan itu bukan waktu yang sebentar.. obat-obatan itu juga kenapa banyak sekali?”   
“Kamu wanita paling kuat, Sayang. Kamu pasti bisa bertahan dan mampu melewati semua prosesnya. Dan kita bisa kembali merajut mimpi yang tertunda.” Reza mengelus kening istrinya lalu mengecupnya, membisikkan kalimat benih semangat. “Bagaimanapun keadaan kamu, aku tetap mencintaimu, Sayangku.”

Setelah tiga pekan perawatan intensif, akhirnya Risa diizinkan untuk rawat jalan. Dengan syarat mengikuti jadwal kontrol rutin berjenjang. Sepekan, dua pekan, sebulan, lalu dua bulan sekali. Terpapar jadwal kontrol selama dua tahun.

Mengonsumsi obat tiga gram sehari bukanlah perkara mudah, sekalipun bagi yang sudah terbiasa. Obat minum dan suntikan wajib dilaluinya setiap hari tanpa absen. Satu dua minggu pertama mungkin masih bisa menahan efek samping obat keras itu. Namun, siapa saja bisa menyerah bila tak memiliki tekad berjuang demi orang-orang yang dicintai.

Muntah setiap hari dan setiap kali makan. Setiap yang dimuntahkan harus diganti. Mengulang makan dan minum obat. Terus berulang-ulang membuat bosan. Kini efek sampingnya merambah ke THT, hampir tuli dan penciumannya amat sensitif mempengaruhi nafsu makan. Aduhai, pastilah dia sangat menderita.

Dengan kaki yang masih lumpuh, semua hal Risa lakukan di kamarnya.  Badan setiap sendinya terasa remuk. Balik kanan kiri sakit tak karuan, pun sama saja bila telentang. Sebab pinggulnya bekas suntikan obat setiap hari. Ingin duduk saja kesulitan, apalagi berjalan tentu ia tidak bisa. Terkadang baru dua pekan, tapi selang kateter harus diganti. Risa merasa bosan berbaring seharian berbulan-bulan penuh penderitaan. Terkadang, sekali dua terpikir untuk menyerah saja. Lelah sakit lebih baik mati. Lelah pula menyusahkan orang-orang tercinta.

Bersyukur ia sudah menikah. Ada harapan yang bisa terus ia pupuk demi masa depan, biarlah ia mati-matian berjuang untuk sembuh. Malaikat maut sudah memiliki catatan kematian, bila sudah sampai masanya mati, pasti akan mati juga. Hanya saja ia berpikir, jangan sampai membawa penyesalan karena menyerah dalam perjuangan ini.

Rasa cinta Risa pada Reza terukir semakin dalam karena telah terbukti kesetiaannya. Demi cintanya, ia memilih merelakan suaminya melanjutkan pekerjaan di tanah perantauan. Dengan seribu janji perjuangan menerjang ombak kehidupan. Tak ada kata menyerah hingga tetes darah penghabisan. Saling mendukung dan mendoakan. Dengan harapan sebuah perjumpaan dalam kebahagiaan.

“Aku juga mencintaimu, Sayang. Beri aku kesempatan untuk sembuh. Berikan aku kekuatan yang kamu miliki untuk memperjuangkan kehidupan kita. Terima kasih karena telah setia. Aku berjanji akan bersabar menghadapi semua proses pengobatan ini. Aku ingin sembuh. Ingin bersama-sama lagi dan memiliki banyak anak di masa depan. Aku mencintaimu, jadi biarkan aku di sini, bersama keluargaku hingga pulih. Pergilah dulu. Aku tidak apa-apa. Setiap doamu akan sampai kepadaku. Tetaplah tinggal di perantauan kita, Sayangku. Pastikan menjemputku tepat waktu. Sekali lagi, aku tidak apa-apa.”

Berat hati Reza untuk pergi. Ia ingin sekali pindah supaya bisa dekat dan menjaga istrinya. Tapi keteguhan pilihan yang diucapkan Risa tak bisa ditolak, mau tidak mau harus menurutinya. Di balik segala kekurangannya, ada ketulusan hati yang amat besar. Reza luluh.   
Biarlah doa menjadi penghubung hati dari raga yang terpisah.
***   

Jangan putus asa, Sayang. Jangan biarkan selangkah kaki yang terhenti, membuat kilometer jarak di antara kita menjadi sia-sia. Lalu semakin jauh dan takkan pernah sampai di titik pertemuan. Bersabarlah Sayangku! Kamu kuat dan pasti bisa bertahan.

Tak merasa bosan, setiap harinya saling berkirim pesan. Memastikan tak sekalipun obat yang terlewat dikonsumsi. Sebab, terlewat sekali saja, sia-sia sudah pengobatan yang dijalani. Tak peduli sudah ratusan hari, sekali saja terlewat, semua sia-sia dan tiada harapan lagi. Risa takkan pernah menyerah, ia akan terus berjuang mengais sisa jatah kehidupan. Ada harapan yang perlu digapai. Bukankah titik kecil cahaya bintang itu sebenarnya amatlah besar?   
   
Subang, 18 Oktober 2019.   
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Kenangan

Kakak Tunggu Aku