Kakak Tunggu Aku

“Eh Ann, katanya Bu Khadijah itu muallaf ya? Trus kok aku ngga pernah lihat suami atau anaknya? Kamu tau?” Vera tiba-tiba bertanya saat Bu Khadijah masuk ruang TU.
“Ehem. Aku tahu. Bentar baksoku sedikit lagi.” Anna menjawab enteng. Setelah habis lalu minum, Anna kemudian bercerita dan Vera antusias sekali.
# # #

Gelap. Gadis itu meraung dalam kebisuan. Meracau dalam lamunan. Di mana cahaya yang Kau janjikan? Aku ingin cahaya dan aku ingin keluar dari semua ini.
Matahari kian meninggi. Gadis berumur dua belas tahun itu hanya bermalas-malasan di atas ranjang yang nyaman. Kemudian ia berpindah ke tepi jendela. Menatap alam tanpa harapan kehidupan. Kupu-kupu yang ia pandangi seakan berubah menjadi kelelawar bertaring tajam. Bunga-bunga bermekaran terhampar di halaman yang menghadap kamar jendela kamarnya, seolah menjelma bunga bangkai beraroma kematian.
Apakah sebentar lagi aku mati? Seperti biasa ia selalu bermonolog penuh keputusasaan. “Ah, penyakit ini kian parah. Bagaimana jika aku mati besok? Tidak!” Dengan keras ia menjawab pertanyaannya sendiri.
Sesosok wanita berusia kepala empat memperhatikan gadis itu dengan mata basah, “Silvi sayang, Mama bawa nasi goreng pakai udang kesukaanmu. Mama suapi ya..” Silvi kemudian makan tanpa selera.
###

Gadis itu bernama Silvi Marianne Daniel. Tiga bulan sejak peristiwa kecelakaan lalu lintas sepulang dari sekolah yang cukup jauh dari rumahnya. Kebetulah hari itu papanya yang menjemput dan kecelakaan itu terjadi. Sedan hitam metalik dan Mercedes Benz yang keduanya mobil bergengsi bertubruk dengan alasan yang mudah ditebak. Ajaib, hanya Silvi seorang yang berhasil selamat dari jeratan maut. Semua tewas seketika.
Silvi dilarikan ke UGD Rumah Sakit terdekat. Denyut nadinya begitu lemah. Berita kecelakaan sementara dengan cepat menguasai informasi berita di setiap stasiun televisi. Tak heran, Erica Novia Daniel yang sedang menonton berita terkini siang itu refleks histeris berteriak di dalam rumahnya. Orang tua Erica langsung mendatangi rumah anaknya dan mendapatinya terkulai lemah pingsan.
###

“Bagaimana keadaan anak saya Dok?” Ny. Erica memburu dr. Tammy saat keluar dari ruang UGD anaknya.
“Patah tulang dan gegar ringan. Rupanya anak anda sangat shock atas kejadian yang baru saja ia alami. Jika ia sudah sadar, kemungkinan ia kehilangan sebagian kinerja otaknya. Saya permisi.”
Tetes demi tetes air mata jatuh menganak sungai. Ia kemudian ingat jenazah suaminya.
“Ma, tolong jaga anakku. Jika terjadi sesuatu pada Silvi kabari. Aku harus menjemput jenazah Daniel. Jika keluarga Daniel datang, biar mereka menyusul.”  Tutur Erica dengan nada tegar dibuat-buatnya kemudian pergi dengan tatapan kosong.
“Maaf kami baru tiba disini. Mana Erica? Kasihan sekali anak menantuku.” Keluarga Pastor Julius baru tiba dari Makassar lima belas menit setelah Erica pergi.
Dua keluarga berkumpul karena kematian seseorang dari mereka. Mereka menangis sesegukan. Cucu mereka terkapar lemas seperti telur diujung tanduk. Sebagian dari mereka kemudian menyusul Erica untuk menjemput jasad anak bungsunya yang rusak.
Erica mematung di depan jasad suaminya yang terbujur kaku. Wajahnya rusak berantakan karena ia memegang kemudi dan tertabrak lebih keras. Saat itu Silvi duduk di jok belakang.
Dikecup wajah sang suami sebelum dimasukkan ke dalam peti setelah dibersihkan. Peti itu dihiasi berbagai bunga tanda penghormatan. Jasad itu kemudian dibawa pulang pihak keluarga untuk dimakamkan di pemakaman umum di dekat kompleks perumahan.
Erica terlihat murung sekali saat itu. Seperti tak ada harapan untuk menjalani kehidupan normal. Banyak pelayat yang menghibur, turut berduka cita atas kepergiannya. Sebagian rekan dan kerabat kerja Daniel membanjiri rumah belasungkawa.
# # #

“Aku di mana?”
Di hamparan taman penuh bunga beratap lukisan biru muda, cakrawala berbalut selimut awan putih dan semerbak wangi yang menyebar masuk dalam indra penciuman.
"Mengapa aku sendirian?" Lekas ia berlari mencari Erica dan Daniel, mereka tak ada di sini. Ia tak putus asa mencari kedua orang tuanya.
“Hai Dik! Lihatlah, pemandangan di sini indah sekali. Pakaian yang kau kenakan juga bagus. Mau aku tunjukan sesuatu yang lebih indah dan menyenangkan?” Sesosok yang sangat dikenal.  Ia heran mengapa kakaknya, Jack Arya Daniel, berada di tempat seindah ini? Padahal Arya sudah meninggal dua tahun silam. Kematiannya disebabkan oleh ayahnya. Silvi hanya mengangguk pelan menyahuti panggilan itu.
“Kamu lihat gerbang itu Dik? Megah sekali bukan? Alangkah senangnya bisa masuk ke dalamnya Dik.” Senyum sumringah kemudian tertunduk sedih. “Tapi kamu tidak bisa masuk ke dalam Dik. Kakak sangat sedih.” Arya berkata lagi.
“Aku ingin masuk kesana Kak! Mengapa aku tak bisa?” Tersirat keingintahuan yang sangat besar.
“Dik, tempatmu bukan di sini jika kamu belum bersyahadat. Mengakui ke-Esaan-Nya. Dik, cepatlah kembali sebelum semua berakhir buruk. Lagipula belum waktunya bagimu. Kakak merindukanmu Dik, nanti kita bertemu lagi!” Arya tersenyum memberi semangat dan dorongan. Silvi masih termenung tak mengerti. Namun tiba-tiba sesosok makhluk bersayap menghampiri, “Kau belum seharusnya di sini. Kembalilah!”
“Kak, tunggu aku…” Silvi dibawa pergi, kemudian...
“Kak… Kakak…” Silvi meracau pelan sedangkan matanya masih terpejam.
Sudah lima hari ia koma dan saat itu ia terlihat kejang-kejang. Silvi ditangani beberapa dokter spesialis.
“Gadis ini sadar Dok! Memanggil kakaknya.” Seorang suster yang berdiri paling dekat berseru gembira. Peristiwa menegangkan saat itu mulai mereda. Detektor jantung Silvi sempat lurus setengah di layar, kini terlihat normal kembali.
“Panggil kakaknya.” Perintah dr. Heru pada asistennya.
“Baik Dok, segera.”
Di luar ruangan UGD, Erica dan yang lainnya tak kalah tegang. Mereka tak henti-hentinya berdoa sesuai ajaran yang dianut. Tiba-tiba pintu dibuka, “Maaf, apa ada kakak Silvi disini? Ia memanggil kakaknya.”
Suasana menjadi hening. Mereka kebingungan bagaimana mempertemukannya dengan seorang yang telah tiada.
“Suster, biar saya yang masuk. Saya mamanya dan kakaknya telah wafat dua tahun silam.” Suster itu tercengang kaget. Kemudian Erica masuk bersama suster yang menjemput.
Air mata Erica tak dapat dibendung lagi. Anaknya terkulai lemas dengan beberapa selang menempel di tubuhnya yang terhubung ke beberapa macam alat medis. Erica kemudian duduk di tepi ranjang.
“Ini Mama, Nak. Maaf tidak bisa membawa kakak kesini.” Erica sesegukan.
“Nak, Mama mohon, sadarlah. Mama akan memberi apa yang kamu mau.” Tapi Silvi tak kunjung membuka matanya. Erica terus menangis dan akhirnya dibawa keluar.
“Biarkan anak ibu istirahat.”
# # #

Keluarga Daniel tinggal dua orang. Ny. Erica Novia Daniel dan Silvi Marianne Daniel. Erica kini berhenti bekerja demi putri satu-satunya, setelah suami dan putranya meninggal.
Satu bulan setelah keluar dari rumah sakit, Silvi banyak termenung. Ia minta pindah ke sekolah umum. Erica memenuhi permintaan anaknya itu. Bahkan memutuskan pindah rumah agar lekas sembuh dari syok. Saat ditanya, Silvi hanya menjawab dengan tatapan kosong. Erica sadar bahwa Silvi masih belum kembali normal sepenuhnya. Di sekolah baru, Silvi diawasi secara khusus oleh seorang guru wanita atas permintaan ibunya.
“Beberapa hari ini, Silvi terlihat senang mengikuti kegiatan di sekolah. Dia terlihat akrab dengan beberapa temannya yang berkerudung. Saya lihat Silvi tersenyum dan mulai bercanda. Itu kemajuan yang sangat besar, Bu!”
Erica terkejut saat mendengar kabar itu melalui bariton telepon. Ia panik hingga gagang telpon yang ia pegang jatuh berdebam.
Berarti Silvi bermimpi bertemu kakaknya saat ia koma. Pasti Silvi akan mengikuti jejak Arya! Oh Tuhan.. jangan kau ambil Silvi dariku. Cukup aku kehilangan Daniel dan Arya. Erica teringat saat masih di UGD. Silvi memanggil Arya!
Erica beringsut cepat menuju keluar. Ia kembali lagi karena kunci mobill tertinggal. Dengan tergesa mengemudi menuju sekolah Silvi.
Saat itu pukul 11:58 WIB. Erica terjebak macet dalam perjalanan. Lima belas menit kemudian ia lolos dari kemacetan. Ia tiba di sekolah setelah kurang lebih dua puluh menit.
“Adik lihat Silvi?” Tanya Erica pada seseorang di dekat gerbang yang mulai ramai karena jam bubar pulang.
“Tante Mama Silvi Marianne? Dia ada di Mushalla dekat perpustakaan. Dengan Anna dan Fitri. Saya teman satu kelas. Permisi Tante.”
Erika terpaku di dekat gerbang. Aku harus menjauhkannya dari sini. Silvi anakku dan hanya aku yang berhak atas Silvi!
“Maaf Tante.” Senggolan seorang anak membuatnya tersadar kemudian bergegas menuju tempat yang diinformasikan.
“NGAPAIN KAMU DI SINI? CEPAT PULANG!” Erica sontak berkata keras kemudian memaksa Silvi pulang. Dan pasti, Silvi terlonjak kaget.
“Maafkan aku, Anna, Fitri… terima kasih semuanya.” Silvi tersenyum sebelum pergi lalu ikut pulang dengan pasrah.
Anna dan Fitri kemudian cemas. Teringat sebulan lalu, pengakuan Silvi yang berasal dari keluarga Pastor. Sedangkan ia meminta masuk Islam.
“Aku ingin masuk Islam, tolong ajari aku. Please…” Saat itu Silvi memohon, hingga akhirnya diantar ke seorang ustadzah Fiya. Semenjak saat itu, mereka bertiga sangat akrab layaknya sahabat lama.
“Ya Allah, lindungi Silvi dan mudahkan ia.. Ia telah mu’allaf. Semoga Engkau merahmatinya. Aamiin.” Keduanya kemudian pulang dengan wajah sedih.
# # #

Setelah kejadian itu, Silvi tak pernah sekolah lagi. Setiap harinya hanya termenung di dalam kamar tanpa bicara dengan Erica. Erica khawatir anaknya akan berpindah agama seperti Arya.
“Keluar dari agama itu Arya! Ayah akan menyiksamu dengan yang lebih berat sampai kamu keluar dari agama itu!” Suara Daniel menggelegar seperti halilintar di siang bolong. Arya ketahuan masuk mesjid sepulang sekolah dan melaksanakan shalat dzuhur. Pecutan sabuk itu menyisakan luka berdarah di tubuh Arya.
“Arya ngga bakalan keluar dari agama penuh berkah dan cahaya. ALLAHU AHAD. Allah itu satu. Asyhadu an laa ilaaha illallah. Muhammad Rasulullah. Sudah satu tahun Arya mempertahankan menjadi seorang muslim ta’at. Tak akan pernah keluar dari Islam.” Perkataan Arya menambah amarah Daniel. Tanpa ampun Arya disiksa dengan lebih dahsyat. Kata yang keluar dari lisannya hanya kalimat syahadat dan takbir. Seketika Arya terkulai lemas.
Daniel panik. Erica berteriak meminta berhenti, berlari merangkul putranya di lantai. Saat itu Arya berumur enam belas tahun. Silvi bersembunyi menyaksikan penyiksaan itu sambil menangis.
Tiba-tiba Arya terbangun lalu berdiri.
“Saksikan Ma, Pa! Aku, Jack Arya Daniel telah bersyahadat di depan kalian!” Arya dengan fasih mengucapkan lafadz syahadat itu dengan keras. Lalu ia bertakbir.
Hal yang dilakukan Arya mendidihkan emosi Daniel. Seketika ia melihat sesuatu di ujung lemari belakang. Ia mengambilnya kemudian kembali saat Arya berkata,
“Namaku bukan lagi Jack Arya Daniel. Namaku sekarang Muhammad Bilal Asy-Syahid. Silahkan hapus namaku dari keluarga.” Sungguh, ia seperti Bilal bin Rabah. Tegar dan berani mengumumkan keislamannya.
Sorot mata Daniel menampakkan kebencian mendalam. Selama Arya berbicara, Erica dan Silvi hanya menangis dan menjerit. Kemudian ia berjalan setengah berlari di belakang Arya. Dan sesuatu terjadi.
Erica semakin histeris. Silvi langsung tak sadarkan diri. Kepala Arya pecah dihantam golok. Darah muncrat kemana-mana. Berceceran dan menjadi bau amis darah. Arya meninggal dalam keadaan syahid. Insya Allah.
Erica tersadar dari ingatan pahit beberapa tahun ke belakang. Setelah urusan yang cukup rumit dengan pihak kepolisian, Daniel lolos bui. Mulai dari peristiwa itu, keadaan keluarga Daniel mulai membeku. Namun jika di hadapan orang tua mereka, mereka bersikap sewajarnya seperti semula.
“Nak, Mama mohon jangan siksa Mama.” Akhirnya Erica memulai mencairkan suasana yang membeku. Silvi tetap diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar untuk mamanya.
“Nak, tolonglah…” Kali ini Erica menangis di hadapan anaknya. Silvi tetap diam. Akhirnya saling diam.
"Mama yang menyiksa Silvi.” Satu kalimat seperti petir menyambar. Spontan Erica menampar.
“Anak tak tahu diri! Siksaan apa yang Mama berikan?” Namun Erica menangis lalu memeluk Silvi. “Maafkan Mama sayang..”
“Mama tahu apa yang aku lihat saat aku koma? Aku bertemu Kak Arya. Kak Bilal Ma.. Sangat rapi dan tampan berada di tempat yang indah…” Silvi bercerita hingga akhir. Silvi meneteskan air mata. Tangis Erica bertambah keras.
“Ma, Silvi sudah ber-Islam dua hari setelah masuk SMP baru.” Tak ada komentar.
“Ma, Mama tahu, kan? Setelah kejadian kecelakaan itu aku kena vonis bocor jantung.
“Ma, Silvi kangen Kak Bilal. Mama pernah bilang, ‘Mama akan berikan apa yang aku minta.’ Gimana Ma?” Tak ada jawaban.
“Ma, Mama mau kan, masuk Islam?” Erica seperti disengat beribu lebah. Hatinya sakit. Namun ia seperti melihat cahaya yang keluar dari mulut Silvi. Ia kembali menangis.
“Bagaimana Ma?”
Mereka saling diam kemudian bertatap muka. Lalu Erica mengangguk. Mereka saling berpelukan dalam naungan cinta-Nya.
# # #

“Tapi, akhirnya setelah pengesahan dan pemberian piagam muallaf, Silvi pingsan. Setelah sadar sebentar lalu tidur dan ngga pernah bangun lagi. Mamanya ganti nama, terus lagi jadi guru TU di sini. Kalau masalah gimana bisa, mending kamu tanya aja langsung sama Bu Khadijah.”Aku selesai menceritakan perihal Bu Khadijah sebelum menjadi muallaf.
“Kasihan banget ya, tinggal seorang diri. Tapi beliau keren. Jadi lebih tegar lagi. Moga aja Bu Khadijah dapet pengganti yang lebih baik.” Vera meneteskan air mata setelah mendengar cerita Anna selama istirahat. Dan bel masuk. Mereka bubar dari kantin.
# # #

Cerpen ini hasil revisi dan sudah pernah dipublikasi di blog pribadi pada tahun 2012.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu Kenangan

Titik Kecil Cahaya Bintang